[She Says] Episode 9: Mimpi Yang Sempurna


RE: Letter of Resignation

Dear Sir,

 

You know why I want to resign?

Since I worked for you, I never have enough money.  When I don’t have enough money, I become unhappy.  When I become unhappy, I will eat a lot.  When I eat a lot, I will get fat.  When I get fat, it will affect your company’s image.  When your company’s image is affected, your business will do no good.  When your business is no good anymore, you become unhappy.  When you become unhappy, you will eat a lot.  I’m afraid you will become fat, like me.

 

So you see Sir, it’s a vicious cycle.  I did  everything for your own good, because I care for you, Sir.

 

So the conclusion is I want to resign.  Please let me go lah…!

 

Thank you.

 

“Nih udah jadi!”

Masih di malam yang sama dimana beberapa jam sebelumnya Tejas muncul di kantor gue untuk balikin payung gue, ia berhasil meyakinkan gue buat mengundurkan diri dari kerjaan gue sebagai kacung serba bisa dan mencari pekerjaan yang lebih menghargai talenta gue.  Tapi sebelum ancang-ancang nyari kerjaan lain, tentunya gue harus mengajukan surat pengunduran diri dulu.  Dan karena gue nggak pernah nulis surat resign sebelumnya, Tejas pun menawarkan bantuan buat gue.

Tapi siapa yang nyangka isi surat resign yang dia tulis sengaco itu?

Jadilah jam tiga pagi kita menahan diri buat nggak ngakak gila-gilaan dan diusir sama landlord gue karena udah mengganggu ketentraman tidur mereka.  Tejas meluk gue dan membekap mulut gue sementara bahunya sendiri berguncang hebat dalam usahanya untuk menahan tawa.  Akhirnya kita guling-gulingan nggak jelas di karpet, berulang kali membaca surat yang Tejas tulis, dan lagi-lagi berusaha setengah mampus buat nggak meledak tertawa.

Nggak tahu deh berapa lama kita cekakak-cekikik nggak jelas gitu.  Si dodol satu itu mendadak nyalain iPodnya dan kita nyanyi-nyanyiin lagu Peterpan dari albumnya yang pertama.  Karena gue udah lupa-lupa liriknya, gue asal pake lirik gue sendiri, membuahkan ledakan tawa dari Tejas.  Tejas dong, dengan fasihnya melafalkan lirik Mimpi Yang Sempurna dengan sempurna.  Seakan-akan doi sendiri yang membuat aransemen plus liriknya bareng Ariel.

“Tay, lo udah nonton filmnya Ariel sama Luna Maya, belom?”

“Film?  Emang si Ariel maen film sekarang?”

Pertanyaan lugu gue itu malah membuat Tejas makin ngakak.  “Tayaaaa… kemane aje lo, Neng?  Lo kira kenapa si Ariel dipenjara?”

“Apa?  Ariel dipenjara?!”

“Taya!  Kemana aja sih elo selama ini?”

“Di hati elo, kan?”

Tejas tiba-tiba batuk heboh.  Mukanya memerah dan matanya berair.  Selama beberapa saat, gue pikir dia cuma bercanda, jadi gue cuekin aja.  Eh, nggak taunya dia serius batuk-batuk.  Setelah menelan beberapa teguk air, akhirnya batuk-batuk itu sedikit mereda.  Tejas langsung nyikut gue dan melotot.

“Tay, tega ya elo sama gue?  Gue keselek gitu kok bukannya elo tolongin?!”

Gue melongo, lalu tersenyum polos.  “Ooo… itu elo beneran keselek, ya?”

“Sialan lo!  Udah ah, gue mau tidur!”

“Ya ilah, ngambek ya?”

“Kagaak…!”  Tejas tiba-tiba menarik tubuh gue agar gue rebahan di hadapannya.  Dia tersenyum boyish dan berkata, “Man, gue nggak nolak buat ngelihat pemandangan ini setiap malam sebelum gue tidur.”

You use those lines to get laid a lot, huh?”

Tejas memutar bola matanya dengan jengkel.  “Tay, elo nggak percaya ya kalau gue punya jiwa yang romantis?”

Yeah, right…”

Yang jelas, malam itu gue dan Tejas akhirnya ketiduran di karpet.  Berhadap-hadapan.  Dan gue bermimpi.

Mimpi itu mengambil tempat di musim gugur di Frisco, nggak lama setelah kuliah bisnis gue di Melbourne mengalami kegagalan fatal dan gue mutusin buat cabut belajar fotografi ke Amerika.  Hujan tengah turun dengan derasnya dan gue berjalan sendiri di bawah payung dengan segelas Starbucks latte di tangan gue.  Uggs kesayangan gue menginjak genangan air, tapi gue nggak peduli.  Pun tidak gue hiraukan mobil-mobil yang menciprati stoking gue dengan genangan air kotor.  Kepala gue terlalu penuh untuk bisa menghiraukan gangguan-gangguan kecil itu.

Napas gue seakan hilang ketika akhirnya gue berhenti di depan flat gue dan menemukan dia duduk di anak tangga tanpa menghiraukan tetesan hujan yang turun menerpa dirinya dengan deras.  Sama seperti gue, dia pun terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri hingga ia tak punya ruang tersisa di kepalanya untuk memikirkan hal lain.

Payung yang gue pegang erat-erat tiba-tiba terlepas dari tangan gue ketika pandangan mata kami bertemu.  Ada sebuah rindu yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata bersarang di kedua bola mata itu.  Ada sebuah rasa bahagia yang membuat gue seketika tidak mampu berkata-kata.  Perlahan, gue melangkahkan kaki mendekati sosoknya.  Ia bangkit berdiri tanpa mengalihkan tatapannya dari gue.  Sama seperti gue, ia pun sepertinya kesulitan untuk memercayai bahwa akhirnya kita bisa berdiri di hadapan satu sama lain.  Gue tersenyum ragu-ragu seraya mendekatinya, yang dibalas dengan senyuman lebar miliknya yang selalu membuat jantung gue berdebar kencang.

Tiba-tiba saja gue merasakan lengannya melingkari bahu gue, menarik gue mendekat hingga gue bisa merasakan terpaan napasnya di kulit wajah gue.  Sebelum gue bisa membentuk kata-kata untuk menyampaikan betapa rindunya gue akan sosok dia, dia menarik wajah gue mendekat dan mendaratkan sebuah ciuman penuh dengan rasa yang selama ini terpendam rapi.  Sebuah ciuman yang membuat gue mengerti mengapa hubungan-hubungan gue dengan pria-pria sebelumnya tidak pernah berhasil.  Sebuah ciuman yang membuat gue tersadar bahwa penantian gue telah berakhir.

Ni xi huan ci shen me?”

Hah?!

Tak lama kemudian, terdengar suara derai tawa, disambut dengan suara air panas dituangkan ke gelas.  Sayup-sayup gue bisa mendengar suara istri landlord gue, yang disambung dengan suara Tejas mengatakan sesuatu dalam bahasa Mandarin.

Hah?!

Detail wajah orang yang barusan baru saja memberikan gue ciuman terbaik sepanjang hidup gue mulai terburai-burai diterpa sinar matahari yang menyelinap masuk lewat tirai kamar gue.  Suara tawa Tejas kembali bergaung, dan akhirnya gue menyadari bahwa ciuman penuh passion  itu hanyalah sebuah mimpi.

Yang secara tragis ditutup dengan suara tawa Tejas.

Sial.

5 thoughts on “[She Says] Episode 9: Mimpi Yang Sempurna

  1. Yah, telat deh, keduluan Kak Gsan *manyun* *dijitak Kak Gsan*

    Kyaaaa! Siapa cowok yang ada di mimpi Tayaaa?! Siapa? Siapa? Pasti Tejas sih ya, pasti itu. *mulai sok ngatur*

    Tapi itu kata-kata dalam bahasa Mandari apa artinya ya? Penasaran. Saya ini kepengen banget bisa belajar bahasa Mandarin. Tapi cuman tahunya Wo Pu Yau-Wo Pu Yau aja, sama Wo Ai Ni. hahaha. Payah.

    Dan saya juga copas komentarnya Kak Gsan, itu-surat-pengunduran-diri-tergokil-yang-pernah-saya-baca! Dasar Tejaaaaas! HAHAHAHA.

    Sekian komentar saya. Semangat bikin lanjutannya ya Kakak. :*

    • *membayangkan bakal ada patah hati massal setelah baca entri Taya selanjutnya tentang Tejas*

      hehe.
      Oh ya, itu Bahasa Mandarin artinya: kamu suka makanan apa?

      Saya juga amatir kalau Bahasa Mandarin. Apalagi kalau udah disuruh nulis, mengerikan! Hahaha

      Terima kasih atas antusiasme kalian 🙂 semoga betah ya dengerin cerita-cerita Taya!

Leave a comment